
Daftar Isi
Investasi di fintech P2P Lending adalah pilihan yang menarik: bunganya tinggi, banyak pilihan, minimum kecil dan online. Namun, seberapa besar resikonya? Bagaimana peraturan perlindungan konsumen terhadap investasi P2P di Indonesia? Apa sudah diregulasi OJK?
Seiring kemajuan teknologi muncul banyak inovasi di bidang fintech. Perkawinan financial dan technology melahirkan instrumen baru di industri jasa keuangan.
Salah satunya adalah P2P Lending - Peer To Peer. Mekanisme pinjam meminjam antara pemberi dan penerima secara langsung lewat platform teknologi.
Perkembangan P2P di Indonesia sangat menarik, tumbuhnya cepat sekali.
Data OJK menunjukkan di awal 2021 terdapat 140 lebih perusahaan P2P di tanah air. Dari awalnya hanya beberapa miliar di 2017, sekarang di akhir 2020, nilai transaksi di P2P Lending sudah mencapai Triliunan rupiah.
Singkat kata, kalau bisa dirangkum, faktor yang menyebabkan P2P Lending tumbuh cepat adalah:
Namun, tentu saja kita bertanya, bagaimana resiko investasi di P2P. Bagaimana perlindungan terhadap konsumen yang melakukan investasi di P2P.
Jika terjadi sesuatu dengan investasi di P2P, kemana investor harus mengadu. Bagaimana cara memilih P2P yang aman.
Sebagai sesuatu yang baru, kita perlu memahami dengan baik resikonya, sebelum masuk ke dalam. Dengan paham resikonya, kita bisa memutuskan apakah P2P, investasi yang cocok buat kita atau tidak.
Berikut ini adalah aspek Perlindungan Konsumen dan Regulasi P2P Lending Fintech di Indonesia, yang akan dibahas:
Konsep peer to peer, yang melepaskan peran bank sebagai perantara, membuat proses pinjam meminjam menjadi lebih fleksibel, inovatif dan cepat.
Bank karena menghimpun dana dari masyarakat harus prudent, tunduk pada sejumlah ketentuan dari Bank Sentral. Sementara P2P, karena uangnya langsung dari pemilik dana, menjadi lebih luwes.
Akses kredit menjadi lebih mudah dan beragam melalui P2P. Di sisi lain, orang yang punya dana dan ingin berinvestasi bisa langsung bertemu dengan calonnya, tanpa perlu perantara lagi.
Misalnya, salah satu P2P memberikan kredit ke kelompok ibu - ibu arisan di pedesaan, dengan jumlah pinjaman mikro Rp 300 ribu. Kelompok yang selama ini sulit mendapatkan akses kredit.
Investor ritel yang punya uang, bisa masuk membiayai kredit mikro ini lewat platform P2P. Kalau tidak ada platform ini, tidak mungkin investor ritel bisa melakukan investasi ke kredit mikro semacam ini.
Akses pinjaman di P2P juga lebih mudah. Cukup syarat KTP dan foto selfie sudah bisa mengajukan kredit dan mendapatkan persetujuan dalam 24 jam.
Selama ini, kendala terbesar pengusaha UMKM adalah tidak memiliki jaminan untuk mengajukan kredit. P2P membuat produk kredit UMKM yang jaminannya adalah tagihan atau invoice, tidak perlu jaminan berupa aset.
Ada pula P2P Syariah, yang melakukan pengumpulan dana untuk membiayai proyek properti dan real estate. Ada juga yang khusus membiayai travel umroh dan keberangkatan haji.
Alternatif produk pinjaman dan investasi yang beragam muncul dari kehadiran P2P. Orang jadi punya lebih banyak pilihan investasi.
Banyaknya pilihan membantu diversifikasi portofolio. Orang bisa membagi resiko dan memilih instrumen yang paling sesuai dengan keinginannya.
Return buat pemilik dana berinvestasi di P2P cukup tinggi karena hilangnya perantara. Pengalaman saya berinvestasi di salah satu P2P, bisa memberikan return 15% sd 18% setahun.
Minimum investasi di P2P bisa ditekan kecil sekali karena sifatnya yang keroyokan (crowdfunding). Lewat platform yang disediakan penyelenggara, pemberi pinjaman bisa bersama - sama membiayai suatu usaha yang prospektif, dengan membagi - bagi jumlah pembiayaan.
Saya pernah cek, salah satu P2P menerima investasi mulai Rp 100 ribu. Jumlah investasi yang sangat terjangkau buat banyak kalangan.
Manfaat lain adalah investasi di P2P bisa dilakukan secara online, lewat aplikasi di smartphone, at anytime dan anywhere. Tidak perlu harus datang ke kantor cabang.
Peraturan terkait Lending tertuang dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 77/POJK.01/2016 mengenai Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI).
Dalam POJK 77 tersebut diatur soal Ketentuan Umum, Penyelenggaraan, Pengguna Jasa LPMUBTI, Perjanjian, Mitigasi Risiko, Tata Kelola Sistem TI, Edukasi dan Perlindungan Pengguna LPMUBTI, Tanda Tangan Elektronik, Prinsip dan Teknis Pengenalan Nasabah, Larangan, Laporan Berkala, Sanksi, Ketentuan Lain, Ketentuan Peralihan, Ketentuan Penutup.
Penyelenggara Fintech P2P Lending harus mendapatkan tanda terdaftar sebelum menjalankan kegiatan operasionalnya. Maksimal 1 (satu) tahun setelah mendapatkan tanda terdaftar, Penyelenggara wajib mengajukan permohonan perizinan ke OJK.
Perbedaan P2P Fintech Lending terdaftar dengan berizin adalah keduanya dapat menjalankan kegiatan operasional sesuai dengan ketentuan yang berlaku, namun Penyelenggara P2P terdaftar dapat menjalankan kegiatan operasional hingga 1 (satu) tahun setelah mendapat tanda terdaftar dan selanjutnya wajib mengajukan permohonan perizinan.
Apabila tidak mengajukan permohonan perizinan maka Penyelenggara P2P terdaftar harus mengembalikan tanda terdaftarnya kepada OJK. Sementara Penyelenggara berizin tidak memiliki masa kadaluarsa atas tanda berizin yang dimilikinya.
Untuk merubah dari status P2P terdaftar menjadi berizin, OJK melakukan proses seleksi dan mengecek sejumlah persyaratan. P2P berizin harus memenuhi persyaratan yang lebih ketat dan memiliki modal yang lebih besar.
Dalam pengumuman di situs OJK, tidak sedikit P2P terdaftar yang akhirnya dicabut suratnya dan tidak bisa beroperasi lagi karena tidak lolos ketentuan untuk menjadi P2P berizin setelah masa 1 tahun.
OJK menaruh perhatian serius soal perlindungan konsumen di fintech P2P Lending. Paling tidak ini karena beberapa alasan:
OJK melindungi konsumen P2P, dengan menerapkan sejumlah ketentuan, yaitu:
Semua pihak yang menjalankan Fintech P2P Lending wajib terdaftar dan berizin dari OJK, tanpa kecuali. Tidak bisa menawarkan pinjaman P2P secara online, tanpa restu OJK.
Sesuai pasal 8 ayat 1 POJK 77/2016 Penyelenggara yang akan melakukan kegiatan Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi mengajukan permohonan pendaftaran kepada OJK.
Tata cara pendaftaran dan perizinan yang dipersyaratkan OJK adalah sbb:
(i) Calon penyelenggara harus memiliki pemahaman terhadap POJK. Unduh dan pahami POJK Nomor 77/POJK.01/2016 beserta Lampirannya.
(ii) Calon penyelenggara melakukan pengisian atas dokumen pendaftaran. Unduh checklist pendaftaran dan lengkapi seluruh berkas sesuai dengan yang terdapat pada kolom keterangan.
(iii) Calon penyelenggara mengirimkan berkas pendaftaran. Berkas yang sudah lengkap dikirimkan ke Kantor Otoritas Jasa Keuangan Gedung Wisma Mulia 2 Lt. 17 (mailing room).
(iv) Proses verifikasi berkas. Kelengkapan dan kesesuaian berkas akan diperiksa oleh Direktorat Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Fintech (DP3F) OJK.
(v) Pelaksanaan Asistensi. Pembahasan mengenai kekurangan atau perbaikan atas berkas yang telah dikirim. Calon Penyelenggara diberikan waktu 10 (sepuluh) hari kerja untuk melengkapi dan menyerahkan kelengkapan dan revisi berkas ke OJK.
(vi) Pelaksanaan Live Demo dan Penilaian Kesesuaian. Calon penyelenggara akan mempresentasikan model bisnis dan melakukan simulasi atas sistem elektroniknya, serta dilakukan penilaian dan uji kesesuaian oleh OJK terhadap Pemilik, Direksi, dan Dewan Komisaris.
(vii) Site Visit. OJK akan mengunjungi kantor Calon Penyelenggara dan memeriksa kesiapan operasional perusahaan.
(viii) Status Terdaftar Penyelenggara yang telah memenuhi kriteria dan dapat melewati seluruh tahapan di atas akan mendapatkan tanda terdaftar di OJK.
Dalam hal perusahaan tidak melakukan pendaftaran dan melakukan kegiatan usaha Fintech P2P Lending tanpa izin maka akan masuk daftar fintech yang tidak terdaftar/berizin dari OJK (fintech ilegal) dan selanjutnya aplikasi dan sistem elektronik akan diblokir.
OJK menetapkan bahwa Direksi dan Komisaris dari fintech P2P wajib untuk:
Syarat ini ditujukan agar pengurus pinjaman online adalah memang orang - orang yang kompeten dan bisa dipercaya. Bukan pengurus yang punya catatan buruk dalam karirnya di dunia keuangan.
Sebagai bagian dari pengawasan, P2P wajib menyampaikan laporan ke OJK, yaitu:
a. Laporan Berkala: 1) Laporan Bulanan; 2) Laporan Triwulanan; 3) Laporan Tahunan
b. Laporan lainnya sesuai yang diperintahkan dalam Surat Tanda Terdaftar dan kode etik asosiasi, antara lain:
1) perubahan anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris;
2) penambahan atau perubahan atas produk atau layanan Sistem Elektronik;
3) perubahan nama dan alamat perusahaan; dan
4) kerjasama dengan pihak ketiga yang bersifat material (misal: penagihan dan pemasaran).
Kebocoran data pribadi dapat dipicu oleh adanya akses yang berlebihan pada smartphone pengguna pinjaman daring. Indonesia hingga saat ini belum memiliki tentang UU Perlindungan Data Pribadi.
OJK proaktif melakukan pembatasan akses penyelenggara Fintech Lending pada smartphone pengguna. Untuk saat ini hanya dapat akses pada camera, microphone, & location (CEMILAN). Apabila ditemukan pelanggaran oleh penyelenggara Fintech Lending, OJK akan memberikan sanksi tegas.
Tingginya bunga pinjaman online selama ini, membuat OJK dan AFPI bergerak melakukan pengendalian terhadap suku bunga.
AFPI menetapkan bahwa jumlah total biaya pinjaman tidak melebihi suku bunga flat 0.8% per hari. Maksimum bunga sebulan, dengan ketentuan ini, menjadi 24% (asumsi sebulan 30 hari).
Tidak hanya berhenti perihal maksimum bunga per hari, OJK dan AFPI juga bergerak membatasi maksimum total biaya pinjaman. Langkah ini sebagai antisipasi perusahaan mengakali ketentuan bunga maksimum, dengan membebankan biaya - biaya.
Contohnya adalah praktek pemotongan biaya dimuka dari plafon yang disetujui sehingga dana yang dicairkan ke rekening lebih kecil dari jumlah pinjaman yang disetujui. Praktek ini secara efektif menurunkan bunga (agar memenuhi ketentuan maksimum 0.8% per hari) meskipun sebenarnya total beban biaya pinjaman yang harus dibayar peminjam tidak berubah atau bahkan lebih besar.
OJK dan AFPI menetapkan bahwa jumlah total biaya, termasuk bunga, biaya keterlambatan dan biaya-biaya lainnya sebesar maksimal 100% (seratus persen) dari nilai prinsipal pinjaman.
Contohnya, pinjaman sebesar Rp 1 juta, maka seluruh biaya (apapun itu) maksimum Rp 1 juta dan tidak boleh lebih.
Proses penagihan di pinjol banyak mendapat sorotan karena dianggap tidak manusiawi dan melanggar privacy konsumen. Muncul banyak komplain dan berita di media soal keganasan penagihan via online.
Untuk mengatasinya, OJK dan AFPI menetapkan bahwa semua tenaga penagih di pinjaman online wajib lulus sertifikasi yang diadakan oleh AFPI. Sertifikasi diharapkan bisa menanamkan edukasi kepada tenaga penagih soal cara penagihan yang benar dan sesuai ketentuan.
OJK melakukan pengawasan terhadap Penyelenggara Fintech Lending P2P melalui 3 (tiga) metode, yaitu:
a. Offsite, melalui laporan-laporan yang disampaikan kepada OJK dan implementasi host-to-host dengan server Perusahaan dengan memanfaatkan Struktur Elemen Database sebagaimana dimaksud dalam Formulir 3C POJK 77/2016.
b. Market Conduct (Semi SRO), sesuai ketentuan Pasal 48, seluruh Penyelenggara wajib terdaftar sebagai anggota asosiasi yang telah ditunjuk oleh OJK.
OJK telah menunjuk Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) pada tanggal 17 Januari 2019. AFPI memiliki Code of Conduct dan memberikan beberapa pengaturan yang belum diatur OJK, diantaranya batas maksimal bunga dan tata cara penagihan. OJK rutin bertemu AFPI minimal 1 kali setiap minggu.
c. Onsite, melalui mekanisme pemeriksaan langsung baik yang dilakukan secara rutin maupun sewaktu-waktu.
Sesuai dengan ketentuan dalam pasal 47 POJK 77/2016, dimana atas pelanggaran kewajiban dan larangan dalam peraturan OJK, OJK berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap Penyelenggara berupa:
Sesuai dengan pasal 38 POJK 77/2016, Penyelenggara Fintech P2P wajib memiliki standar prosedur operasional dalam melayani pengguna yang dimuat dalam dokumen elektronik. Selain itu Perusahaan juga tunduk pada POJK 18/2018 tentang Layanan Pengaduan Konsumen di Sektor Jasa Keuangan.
Peraturan OJK menetapkan bahwa perusahaan P2P online wajib menjadi anggota asosiasi. JIka tidak menjadi anggota, izin akan dicabut OJK.
Asosiasi adalah AFPI - Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia.
AFPI adalah organisasi yang mewadahi pelaku usaha Fintech Peer to Peer (P2P) Lending atau Fintech Pendanaan Online di Indonesia. AFPI ditunjuk Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai asosiasi resmi penyelenggara layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi di Indonesia, berdasarkan surat No. S-5/D.05/2019.
Keanggotaan di AFPI menetapkan bahwa perusahaan fintech P2P pinjaman online harus tunduk pada sejumlah ketentuan, terutama soal perlindungan konsumen.
AFPI meminta setiap Fintech P2P untuk wajib menyampaikan informasi secara transparan di muka soal hak dan kewajiban Lender dan Borrower. Peran dan tanggung jawab dari Penyelenggara P2P juga harus disampaikan, yaitu antara lain:
Penyelenggara P2P wajib mencantumkan seluruhnya biaya (fee) yang timbul dari pinjaman (cost of borrowing), termasuk biaya yang timbul di muka (upfront fee), bunga, biaya asuransi atau pertanggungan lain, provisi, biaya keterlambatan, biaya pelunasan dipercepat, dan biaya lainnya yang dikenakan kepada peminjam.
Setiap Penyelenggara P2P wajib mencantumkan biaya-biaya sebagaimana dimaksud di atas dalam simulasi nominal Rupiah untuk mencerminkan beban biaya secara riil bagi konsumen.
Setiap Penyelenggara P2P wajib mempublikasikan tingkat suku bunga pinjaman dan / atau biaya yang dikenakan dengan mencantumkan metode penghitungan suku bunga yang digunakan (flat, efektif, Annualized Percentage Rate, ataupun metode lain yang digunakan) serta termin pinjaman yang berlaku.
Penyelenggara juga diminta untuk mempublikasikan informasi mengenai dasar pertimbangan penetapan kategorisasi risiko (risk grade) dan pemeringkatan pinjaman yang menjadi landasan penentuan suku bunga atau biaya yang dikenakan.
Setiap Penyelenggara dilarang menyampaikan informasi dengan format, bentuk, atau metode yang menyesatkan konsumen dalam proses penawaran produk, iklan, atau informasi keuangan yang mempengaruhi keputusan dari Pengguna.
Format, bentuk, atau metode yang menyesatkan konsumen sebagaimana dimaksud dalam butir (a) antara lain: a) penggunaan sosok/tokoh pejabat negara, pemerintah, atau pakar yang seolah-olah mempromosi (endorse) produk dan/atau layanan; dan b) penggunaan data, statistik, atau riset yang tidak tepat, tidak valid atau tidak dapat dipertanggung-jawabkan.
Setiap Penyelenggara wajib mencantumkan nama resmi perusahaan serta alamat kantor sesuai Surat Keterangan Domisili, email, dan nomor telepon kantor yang dapat dihubungi untuk pengaduan nasabah dan dalam hal terjadi perselisihan, serta mencantumkan standar layanan untuk memproses pengaduan.
Harus jelas berapa lama pengaduan ditangani dan oleh siapa.
Karena itu, perusahaan wajib juga memiliki sumber daya manusia dan prosedur dalam melayani pengaduan dari pengguna. Harus ada personal yang memang ditugaskan menangani pengaduan konsumen agar bisa ditangani dengan baik dan cepat.
P2P pinjaman online dilarang melakukan Predatory Lending, yaitu praktik pemberian pinjaman yang mengenakan syarat, ketentuan, bunga, dan/atau biaya-biaya yang tidak wajar bagi Penerima Pinjaman, antara lain adalah:
Apa yang dilakukan penyelenggara fintech P2P dalam mengelola risiko pinjaman?
Bagian ini sangat krusial buat lender. Karena setinggi apapun potensi return, jika pinjaman tidak dibayar, semuanya akan sia - sia.
Uniknya peer to peer, dan ini perlu sangat dipahami oleh investor, adalah perusahaan P2P Lending tidak menanggung resiko jika peminjam menunggak meskipun perusahaan ini yang menyeleksi, dan mengukur tingkat resiko peminjam.
Sebagai penyelenggara, P2P wajib melakukan sejumlah langkah untuk mengelola resiko guna memastikan peminjam membayar kewajiban tepat waktu.
Langkah - langkah manajemen resiko tersebut terbagi dalam beberapa tahapan:
P2P Lending melakukan seleksi calon peminjam dengan serangkain proses analisa kredit, termasuk permintaan dokumen, wawancara dengan peminjam serta validasi dan verifikasi data.
Tujuannya adalah penyelenggara P2P memastikan bahwa informasi yang diberikan peminjam benar dan menganalisa bahwa peminjam memiliki sumber penghasilan untuk membayar pinjaman.
Selain keputusan untuk menyetujui pengajuan pinjaman, penyelenggara juga memberikan ranking tingkat resiko. Ranking tingkat resiko ini digunakan oleh Lender untuk memutuskan soal pendanaan.
Dalam proses seleksi, salah satu bagian penting yang diwajibkan oleh OJK adalah penyelenggara P2P harus melakukan kerjasama dengan Biro Kredit. Biro Kredit menyediakan informasi soal semua catatan debitur di Indonesia.
Calon peminjam yang tercatat punya catatan kredit buruk di Biro Kredit, misalnya pernah menunggak dan gagal bayar di pinjaman lain, akan ditolak oleh penyelenggara P2P.
Salah satu contoh Biro Kredit, yang banyak digunakan di Indonesia adalah Pefindo. Lembaga ini melayani dan kerjasama dengan sebagian besar P2P Lending.
Bagaimana jika peminjam menunggak? Kejadian yang akan selalu akan terjadi dalam bisnis pinjam meminjam.
OJK mewajibkan setiap P2P untuk menggunakan Asuransi Kredit sebagai sarana manajemen resiko. Contoh asuransi kredit adalah Jamkrindo.
P2P akan menyampaikan ke Lender soal pinjaman yang dicover aasuransi. Terdapat tambahan potongan biaya ke Lender untuk membayar premi asuransi.
Saat peminjam menunggak dan mencapai jumlah hari yang disepakati, maka P2P bisa mengklaim ke asuransi kredit untuk membayar pinjaman yang menunggak tersebut. Jumlah pembayaran dari asuransi untuk mengcover kredit yang macet, bisa bermacam - macam, mulai dari 50% hingga 80% dari pokok pinjaman.
Untuk pinjaman yang sudah diasuransikan, begitu klaim dibayarkan maka hak menagih atas pinjaman berpindah ke pihak asuransi. Pihak asuransi akan mengusahakan penagihan hingga sejumlah klaim yang dibayarkannya.
Apabila hasil penagihan lebih tinggi dari klaim yang dibayarkan, selisihnya akan dibayarkan kepada pemberi pinjaman.
Premi asuransi kredit bisa ditanggung oleh penyelenggara P2P atau Lender. Semuanya tergantung pada perjanjian antara Lender dan P2P.
Tugas P2P adalah memfasilitasi proses collection penagihan pinjaman, yang terdiri atas:
Dimana uang dari Lender akan ditampung oleh penyelenggara P2P? Baik sebelum pencairan dari Lender maupun saat terjadi pembayaran dari Borrower.
Ini menjadi pertanyaan penting karena tidak hanya menyangkut soal keamanan dana, tetapi regulasi bahwa penyelenggara P2P tidak diperbolehkan menghimpun dana, seperti di perbankan.
Ketentuan AFPI dan OJK menetapkan bahwa setiap Penyelenggara wajib mempublikasikan kepada seluruh Pengguna (Lender dan Borrower) terkait rekening dana penampungan (virtual account dan/atau escrow account) resmi yang digunakan dalam rangka fasilitasi pinjaman dan yang sudah didaftarkan kepada Otoritas Jasa Keuangan.
Setiap penyelenggara Fintech P2P wajib memiliki prosedur untuk:
Rekening penampungan, yang dikenal juga sebagai Rekening Dana Lender, punya fungsi penting buat Lender.
Setiap kali Lender akan melakukan pendanaan maka uang akan diambil dari Rekening Dana Lender di bank, yang aksesnya dikuasai oleh Lender. Pelunasan dari peminjam akan disetor ke rekening ini juga.
Dengan cara ini, uang Lender aman karena ditempatkan di bank serta aksesnya dikontrol penuh oleh Lender.
Bagi pemberi pinjaman atau Lender, salah satu indikator penting adalah bagaimana tingkat gagal bayar atau non-performing loan di P2P tersebut. Apakah dana yang disalurkan oleh Lender bisa dikembalikan tepat waktu atau banyak yang menunggak.
OJK menetapkan indikator TKB 90.
Indikator ini menunjukkan berapa persen dari pinjaman di P2P Lending yang bisa diselesaikan dalam jangka waktu 90 hari sejak jatuh tempo.
Misalnya, TKB 90 = 95% itu artinya adalah:
Angka TKB 90 wajib dipublikasikan setiap waktu di halaman depan situs Fintech P2P.
Bagaimana jika P2P bubar? Bagaimana nasib uang Lender yang diinvestasikan lewat platform tersebut?
Secara legalitas, kewajiban pengembalian uang lender tetap harus dipenuhi, meskipun penyelenggara P2P bubar atau tutup operasional.
Perjanjian pinjam meminjam adalah antara Lender dan Borrower. Penyelenggara bersifat sebagai penyedia platform.
Peminjam wajib mengembalikan pinjaman kepada pemberi pinjaman.
Meskipun OJK dan Asosiasi sudah membuat banyak peraturan yang mengatur fintech lending, namun terdapat satu hal yang masih sulit dikendalikan, yaitu fintech ilegal.
Fintech ilegal menjadi problematik karena tidak tunduk dan tidak mengikuti Peraturan OJK dan Code of Conduct AFPI.
Sementara, banyak masalah perlindungan konsumen, seperti bunga tinggi, penagihan kasar, muncul justru dari fintech ilegal.
Untuk mengatasinya, OJK menggunakan Satgas Investasi untuk memberantas fintech ilegal.
OJK tidak bergerak sendiri, dalam menangani fintech ilegal, bekerjasama dengan institusi penegak hukum lain dalam wadah, Satgas Investasi.
Satgas Waspada Investasi (SWI) melakukan tindakan tegas kepada P2P ilegal berupa:
Satgas Investasi adalah Satuan Tugas Penanganan Dugaan Tindakan Melawan Hukum di Bidang Penghimpunan Dana Masyarakat dan Pengelolaan Investasi dibentuk berdasarkan Keputusan Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 01/KDK.01/2016 tanggal 1 Januari 2016.
Satuan Tugas Waspada Investasi ini merupakan hasil kerjasama beberapa instansi terkait: Otoritas Jasa Keuangan; Kementerian Perdagangan Republik Indonesia; Badan Koordinasi Penanaman Modal; Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia; Kementerian Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia; Kejaksaan Republik Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pelaksanaan tugas pokok Satgas Waspada Investasi adalah:
Secara berkala, Satgas Waspada Investasi mengumumkan daftar fintech P2P ilegal ke masyarakat.
Tujuannya agar masyarakat tidak menggunakan layanan ilegal ini dan jika ditawari bisa menolak atau bahkan melaporkan keberadaan fintech ilegal ke Satgas untuk ditindaklanjuti.
OJK minta masyarakat untuk terlebih dahulu berkonsultasi terkait penawaran investasi keuangan yang dianggap mencurigakan ke Layanan Konsumen OJK dengan cara:
Telepon 1500655 atau email: [email protected], mendatangi kantor OJK terdekat yang ada di berbagai kota atau website: https://waspadainvestasi.ojk.go.id
Meskipun menawarkan keuntungan yang tinggi, namun investasi di P2P Lending punya resiko yang tidak kecil. Sifatnya yang peer to peer, langsung antara pemberi dan penerima pinjaman, membuat resiko sepenuhnya ditangan investor.
Apa tips agar investasi di P2P aman?
Saya kebetulan pernah dan masih melakukan sejumlah investasi di beberapa P2P. Mungkin tips berikut ini bisa bermanfaat.
Rule #1, apapun jenis investasinya, kita harus melakukan diversifikasi portfolio. Tidak menaruh semua uang kita dalam satu keranjang.
Dalam P2P, diversifikasi harus diterapkan. Seberapapun menariknya return di P2P Lending.
Meskipun menjanjikan return yang sangat menarik, tetapi menurut saya, P2P punya resiko yang cukup tinggi. Resiko ini sebanding dengan tingkat return yang tinggi.
Karena itu, saya hanya akan menempatkan sejumlah uang yang saya memang siap untuk kehilangan.
Sudah pasti, di tengah banyaknya fintech ilegal, hanya menanamkan uang di P2P yang sudah berizin / terdaftar di OJK. Jangan tergiur oleh tawaran manis dari fintech ilegal - resikonya lebih besar dari returnnya.
Cek di daftar fintech P2P di OJK.
Fintech P2P adalah jenis instrumen yang baru, usianya belum ada lima tahun di Indonesia. Banyak hal belum dipahami dengan baik.
Karena itu, investasi di P2P harus didahului dengan pemahaman yang baik, terutama soal resikonya. Apa saja resiko berinvestasi di P2P perlu dimengerti dan diukur apakah sesuai dengan risk appetite yang dimiliki.
Lihat juga indikator kesehatan P2P, seperti TKB 90 dan izin dari OJK. Indikator ini bisa menunjukkan tingkat kesehatan suatu P2P.
Kalau baca dari situs atau penjelasan dari penyelenggara P2P, banyak hal tidak diuraikan secara gamblang dan informasinya tidak cukup. Itu dari pengalaman saya.
Cara satu - satunya yang paling efektif adalah membaca pengalaman orang lain yang sudah menjalankannya. Melihat bagaimana resikonya, return, pelayanan, dari kacamata konsumen.
Untungnya, Kemajuan teknologi online membuat banyak hal tersedia secara transparan di internet. Termasuk review pengalaman orang - orang yang berinvestasi di P2P.
Saran saya, sebelum masuk ke satu P2P, lakukan riset terlebih dahulu di internet soal pengalaman orang yang sudah masuk duluan. Reviewnya sangat mungkin subjektif, tetapi dari situ kita bisa mendapat informasi berharga yang tidak akan diperoleh dari baca website resmi P2P.
Investasi di fintech P2P Lending menawarkan sejumlah keuntungan yang menarik. Sebagai instrumen yang baru, aspek perlindungan konsumen atas investasi di P2P menjadi hal yang penting diperhatikan.
OJK sebagai otoritas yang mengawasi P2P sudah membuat sejumlah peraturan dan ketentuan untuk melindungi kepentingan konsumen. Namun, sebagai konsumen kita harus tetap jeli dan mempelajari dengan baik segala resikonya sebelum berinvestasi.
Daftar Isi